Simbol Persatuan dan Pelestarian Budaya, Festival Budaya Flobamora di Manokwari Menjadi Agenda Rutin

MANOKWARI, SURYA ARFAK – Festival Budaya Flobamora yang digelar di Kabupaten Manokwari, Papua Barat, selama tiga hari berturut-turut, berlangsung meriah dan penuh makna. Kegiatan ini menjadi momentum penting bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) di tanah rantau untuk memperkokoh persatuan, menjaga identitas budaya, sekaligus mempererat tali kebersamaan di tengah keberagaman.

Ketua Flobamora Kabupaten Manokwari, Eduardus Haleserens, menegaskan bahwa festival ini merupakan bukti nyata budaya mampu mempersatukan orang Flobamora.
“Selama tiga hari, kita semua, baik generasi muda, orang tua, maupun anak-anak, berkumpul dalam semangat menjaga jati diri dan membangun masa depan di Manokwari. Walau berbeda suku, agama, dan ras, kita tetap bersatu,” ujarnya.

Menurut Eduardus, tujuan utama festival adalah memberi pemahaman kepada generasi muda bahwa soliditas dan harmoni tidak hadir dengan sendirinya, tetapi harus dibangun, dipupuk, dan dijaga agar budaya terus lestari.
“Selama festival, kita melihat tarian yang jarang ditampilkan, peragaan busana khas NTT, hingga kreativitas generasi muda yang luar biasa. Anak-anak kita tampil sebagai agen perubahan yang akan melanjutkan jejak budaya Flobamora di masa depan,” katanya.

Eduardus juga berharap kegiatan ini menjadi agenda rutin, meski terjadi pergantian pengurus. Ia menegaskan bahwa kegiatan budaya hanya bisa terlaksana jika ada persatuan.
“Kalau berjalan sendiri-sendiri, festival ini akan tenggelam. Saya harap para ketua tungku dan sesepuh menurunkan ego sektoral. Jangan lagi ada paradigma blok utara atau selatan, karena itu hanya membuat kita tertinggal dari suku-suku lain,” tegasnya.

Festival Budaya Flobamora di Manokwari ini mendapat sambutan antusias dari masyarakat. Berbagai atraksi seni, pertunjukan tarian, hingga pameran kerajinan menjadi daya tarik utama. Lebih dari itu, festival ini juga meneguhkan tekad masyarakat Flobamora untuk terus menjaga harmoni dan kebersamaan, sekaligus menepis stigma bahwa komunitas Flobamora di Manokwari “tidur” atau pasif.

“Festival memang sudah selesai, tapi tanggung jawab kita menjaga soliditas dan harmoni tidak berakhir di sini. Mari melangkah bersama dalam persatuan yang utuh sebagai orang Flobamora,” tutup Eduardus.

Senada dengan itu, Ketua Perkumpulan Rumah Besar Flobamora Papua Barat, Clinton Tallo, menyampaikan bahwa kekayaan budaya NTT adalah warisan yang harus dijaga.
“NTT terdiri dari puluhan suku, bahasa, dan adat istiadat. Keberagaman ini anugerah yang menjadi kekuatan besar menyatukan kita. Festival budaya ini bukan hanya perayaan, tapi wujud komitmen melestarikan dan memperkenalkan budaya kita kepada saudara-saudara di Papua,” ungkapnya.

Clinton menambahkan, melalui festival ini, masyarakat dapat menyaksikan langsung betapa unik dan kayanya budaya NTT, mulai dari tarian tradisional, musik daerah, hingga kerajinan tangan. Menurutnya, kegiatan seperti ini juga memberi ruang bagi seniman dan masyarakat untuk menyalurkan kreativitas serta memperkenalkan budaya lokal ke tingkat yang lebih luas.

“Budaya bukan hanya milik para seniman, tapi milik kita semua. Mari kita wariskan kebudayaan ini kepada generasi mendatang. Dengan budaya yang kuat, kita bisa memperkokoh jati diri, membangun Indonesia, dan ikut memajukan tanah Papua,” katanya.

Clinton menegaskan bahwa di era globalisasi, kebudayaan harus ditempatkan sebagai kekuatan yang mampu bersaing di tingkat nasional bahkan internasional.
“Kita harus terus berinovasi dalam mengembangkan kebudayaan tanpa melupakan akar tradisi yang sudah ada,” tambahnya. (SA01)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *